Minggu, 10 September 2017

ALL OUT ALA GONTOR

Ust. Nasrulloh Zarkasyi


Tulisan ini hanya potongan cerita dan peristiwa, atau sebuah potret, hampir tak ada benang merahnya, kecuali terkait dengan judul.
Satu lagi mutiara Gontor yang belum pernah terungkap lewat tulisan.
Seorang alumnus Gontor datang membawa tamu dari Rusia, tempat pengabdiannya kepada negara. Tamu itu seorang Mufti, yang diiringi beberapa pengikutnya.
Setelah sampai penginapan yang disediakan oleh pondok, tamu pun dipersilakan istirahat. Akan halnya alumnus ini, kerinduannya kepada pondok memaksanya berinisiatif melihat kampus yang lama tak dikunjungi.
Bukan hanya kekaguman atas perkembangan pondok yang disaksikannya, melainkan persiapan yang tengah dilakukan para santri demi menyambut tetamu dari jauh yang dibawanya itu, tamu kaliber internasional. Di sana-sini, tampak santri sedang melakukan aktivitasnya; ada yang tengah menata kursi di aula tempat pertemuan, ada yang tengah memasang background panggung, memasang bendera, atau mempersiapkan tempat makan siang tamu usai pertemuan nanti. Dadanya hampir meledak; matanya berkaca-kaca; betapa sedemikian rupa Gontor menyambut tamunya, all out.
Saat diadakan pertemuan, ketika sang tamu berpidato dalam bahasa Rusia, ada seorang alumnus Gontor yang menjadi penterjemahnya. Dia alumnus perguruan tinggi di Saint Petersberg, Rusia. Kedatangannya ke Gontor untuk menjadi penterjemah adalah bagian ke-all out-an Gontor dalam menerima tamu. Sebab, saat itu, dia tengah berada di Jakarta, khusus dipanggil pulang untuk menjadi penterjemah. Allahu Akbar, wa lillahi al-hamd.
Kembali kepada santri yang bekerja. Mereka itu hanya santri-santri biasa, siswa kelas 4–6. Ada satu dua orang guru pembimbing yang mengawasi.
Namun, yang jelas, mereka semua sudah tahu apa tugasnya, dan bagaimana mengerjakannya; tekun, teliti, ikhlas, sungguh-sungguh, penuh pengabdian, dan kesabaran.
Sebelum meninggalkan Gontor, alumnus itu membisikkan kalimat kepada saya, “Syukran, Ustadz. Kami tak menyangka disambut seperti ini. Luar biasa.” ucapnya dengan wajah sebak, terharu.
Ada cerita yang lain. Suatu saat Pimpinan Pondok berkunjung ke Sudan. Para alumni Gontor pun menyambutnya dengan sepenuh hati, sedemikian rupa. Pertama, di bandara, mereka membentangkan banner “Selamat Datang, Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor beserta rombongan!”
Pimpinan Pondok dan yang menyertainya pun terharu, berkaca-kaca, demi melihat semangat anak-anak alumni itu. Bukan hanya itu.
Malam hari, menjelang esoknya ada pertemuan, para alumni itu masih bekerja hingga larut malam. Seperti semasa di Gontor, mereka mempersiapkan acara sedemikian rupa, all out.
Untuk menyambut pelaksanaan Pekan Perkenalan Khutbatu-l-‘Arsy (PPKA) —semacam masa orientasi sekolah—, para santri yang menjadi panitia akan mempersiapkannya dengan sempurna.
Ada yang mempersiapkan baliho berukuran sangat besar; ada yang mempersiapkan jenis acara dan teknik penyajiannya; ada yang mengatur meja dan kursi untuk undangan; ada yang sibuk membuat taman; ada yang berlatih master of ceremony (MC); ada pula yang mempersiapkan pasukan pengibar bendera, dsb.
Persiapan itu dilakukan berhari-hari dan hingga larut malam. Tak ada imbalan buat mereka, kecuali, terkadang segelas kopi yang tidak begitu manis, plus singkong rebus.
Begitulah Gontor, selalu all aout dalam melaksanakan tugas apa saja. Tanpa pamrih, tentu saja.
Sebab, apa yang dilakukan itu adalah juga bagian dari pendidikan, pendidikan life skill. Yang terlibat terdidik, yang tak terlibat pun terdidik.
Bagi Gontor pendidikan adalah apa yang dilihat, didengar, dialami, dan dirasakan.
Artinya juga, mereka yang kali ini belum terlibat, suatu saat pasti akan dilibatkan. Untuk sementara, mereka menjadi penonton yang baik.
Di Gontor, banyak munasabah (acara) yang mengharuskan segenap insan Gontor mempersiapkan segalanya.
Jika ada acara kunjungan tamu, persiapan yang dilakukan disesuaikan dengan jabatan dan kaliber tamu yang datang.
Bagaimana jika yang datang sekelas Bupati, Gubernur, hingga Presiden.
Boleh dikata, hal itu di Gontor sudah ada rumusnya, sudah pakem, tinggal melaksanakan.
Semua akan dilakukan dengan sepenuh hati, oleh siapa saja yang ditunjuk Pimpinan Pondok menjadi panitia.
Maka, pernah suatu kali ketika Gontor dikunjungi Presiden, ada seorang tamu yang menyertainya berkomentar, bahwa cara Gontor dalam menerima tamu sudah standard internasional.
Dalam hati, saya bersyukur, ada yang menilai demikian.
Memang, setiap kali akan kedatangan Presiden Republik Indonesia, persiapan yang dilakukan Gontor sangat sempurna, teliti.
Bersama Paspampres (pasukan pengamanan Presiden) dan penguasa militer setempat, panitia akan menjelaskan persiapan yang dilakukan, sehingga, ketika para Paspampres itu bertanya, panitia sudah siap, sekaligus menunjukkan lokasi-loaksi dan fasilitas yang mungkin akan digunakan presiden,
Panitia itu adalah para guru yang masih sangat muda, berusia sekitar 20–40 tahunan.
Di antara mereka ada yang bertanggung jawab mempersiapkan Balai Pertemuan, pasukan pengawal, rumah singgah sementara untuk berbincang dengan Pimpinan Pondok sebelum Presiden menuju Balai Pertemuan; ada yang mempersiapkan konsumsi, hingga tempat shalat Presiden di Masjid Jami‘.
Pokoknya semua dipersiapkan dengan sempurna.
Di Gontor, menjadi panitia seperti itu sama sekali tidak dibayar. Betul-betul nol rupiah. Namun, bagi para panitia itu, mendapat kesempatan dan pengalaman terlibat dalam penyambutan tamu seperti itu sudah lebih dari bayaran, merasa menjadi orang penting dan terhormat, dan mendapat ilmu.
Lantas, di saat seperti itu, dimana Pimpinan Pondok?
Hampir-hampir, boleh dikata, beliau sudah lepas tangan, hanya memejamkan mata, mempercayakan pekerjaan kepada para kadernya.
Paling, beliau hanya mengarahkan seperlunya, atau sekadar melihat persiapan, tanpa berkata apa-apa.
Sebab, beliau dulu juga pernah melakukan hal serupa saat masih muda, dan belum menjadi Pimpinan Pondok.
Pengalaman itu telah ditularkan sebelumnya kepada generasi penerus.
Hanya, saat Presiden dan rombongan tiba, para panitia itu seperti hilang, tidak kelihatan. Yang kelihatan hanya Pimpinan Pondok. Pimpinan Pondok pun tidak memperkenalkan panitia kepada Presiden.
*Itulah pendidikan keikhlasan yang sesungguhnya.*
Ada peristiwa lucu. Suatu ketika, Gontor akan kedatangan Grand Syekh Universitas Al-Azhar. Saat itu, pejabat militer setempat diemban oleh seorang non-Muslim.
Dalam pertemuan dengan panitia, beliau meragukan kemampuan para santri menyanyikan lagu “Indonesia Raya,” Mungkin karena santrinya banyak, dikhawatirkan akan kacau. Haaa…. Dan, begitu banyak pertanyaan tentang keraguan yang diajukan. Para guru yang terlibat panitia pun hanya tersenyum.
Maklum, Pangdam itu memang belum tahu Gontor sama sekali. Maka, wajar jika beliau meragukan. Kita tidak perlu marah, bahkan justru tersenyum.
Ketika tiba hari kedatangan Grand Syekh, sekitar 5000 orang santri dan guru Gontor, di dalam dan di luar Balai Pertemuan, melantunkan lagu “Indonesia Raya” dengan gegap gempita dan sikap sempurna. Entah apa yang terdetik dalam hati sang Pejabat Militer saat itu.
Penulis yakin, demi melihat keadaan itu, dia malu karena telah terlanjur meragukan kemampuan santri Gontor. Semoga beubah menjadi salut, dan respek.
Bukan hanya itu. Usai lantunan lagu kebangsaan “Indonesia Raya,” para santri dan guru itu menyanyikan lagu kebangsaan Mesir “Baladi, Baladi”.
Sungguh, ketika berkesempatan memberikan sambutan, Grand Syekh Al-Azhar itu menitikkan air mata. Pidatonya terbata-bata, mengingat betapa Gontor menyambut dan menghormatinya sedemikian rupa, all out.
Apalagi sebelumnya, ketika Pimpinan Pondok, K.H. Hasan Abdullah Sahal, menyampaikan pidato selamat datang mengatakan, “Pondok ini juga pondok Anda, seperti juga Al-Azhar adalah juga Al-Azhar kami. Terima kasih. Kader-kader kami banyak yang dididik oleh Al-Azhar.” Kalimat itu juga disampaikan dengan titik air mata dan ucapan yang terbata-bata.
Raut muka haru tampak di wajah Grand Syekh Al-Azhar. Dalam pidatonya, beliau mengucapkan terima kasih tak terhingga karena disambut dengan lagu Kebangsaan Mesir. Rasanya seperti di negara sendiri. Lantas, entah darimana mengukurnya, dalam pidatonya itu, beliau mengatakan bahwa akan memberi beasiwa untuk Gontor sebanyak 50 orang untuk masuk ke Universitas Al-Azhar, fakultas apa saja.
Jumlah 50 orang itu sama dengan jumlah yang diberikan kepada Indonesia. Jadi Indonesia mendapat beasiswa sebanyak 50 orang, Gontor juga 50 orang.
Saat ditanya oleh salah seorang guru Gontor menjelang kepulangannya ke Mesir, tentang mengapa Gontor dikasih 50 orang dan seluruh Indonesia juga 50 orang, Grand Syekh pun menjawab, “Sebab, alumni Gontor itulah yang akan memimpin Indonesia kelak.” Allahu Akbar.
Satu lagi, saat diadakan Seminar Internasional di Universitas Darussalam, puluhan utusan perguruan tinggi dari seluruh dunia hadir.
Selama di Gontor, mereka didampingi oleh para dosen alumni luar negeri yang sangat menguasai bahasa Arab atau Inggris.
Bahkan, ada utusan dari Pakistan yang hadir. Di antara dosen itu pun ada beberapa yang menguasai bahasa Urdu (bahasa Pakistan) dan siap mendampingi utusan itu.
Maka, para utusan itu pun sangat terkesan, dan menyatakan bahwa ini adalah pertemuan yang paling sukses.
Konon, sebelumnya, pertemuan serupa pernah diadakan di sebuah perguruan tinggi negeri Islam di Jakarta.
Acara kacau karena panitianya tidak tanggap. Kemampuan bahasa asing para pendamping delegasi pun sangat lemah.
Padahal, mereka itu, konon, diberi honor. Sementara, di Gontor, panitia sama sekali tidak dibayar; sekali lagi, nol rupiah.
Bagi Gontor, perkara mempersiapkan acara apa saja harus dengan sepenuh hati. Bukan hanya tenaga yang diabdikan untuk kesuksesan acara, melainkan juga jiwa keikhlasan, kesungguhan, serta keinginan memetik hikmah dan pelajaran berharga, life skill bagi dirinya.
Semoga Gontor akan tetap all out dalam segala hal.
Pasti, para alumni akan terkenang jika pernah menjadi bagian dari ke-all out-an Gontor dalam mengerjakan sesuatu. Mereka pun akan mampu menyajikan hal serupa jika di tempat pengabdiannya kepada masyarakat ada perhelatan, mungkin kedatangan Bupati, Gubernur, Menteri, atau bahkan Presiden.
*Mereka sudah tahu standardnya.*
Gontor, September 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar