Minggu, 10 September 2017

MIE GONTOR

Ini adalah menu 1-1nya yang dijual di kantin jaman dulu. Karena dulu ada larangan dari Pak Kyai, kantin tidak boleh menjual panganan berbahan Nasi. Tujuanya agar santri makan di dapur dan nasi di dapur habis tidak tersisa.
Fakta menunjukkan kalau setelah lulus dari Gontor, tidak ada yang kangen dengan masakan khas ini. Padahal mie ini adalah satu instrumen penting bagi pendidikan imajinasi santri, saat menyantap imajinasi santri akan langsung on.
Kuliner ini hanya tersedia ketika jam praktek Kantin, empat kali sehari dan 45 menit setiap praktek. Untuk mendapatkan sepiring Mie Gontor diperlukan perjuangan dan ritual khas santri. Lima menit sebelum kantin dibuka, calon konsumen mulai memainkan sandiwara di sekeliling kantin dengan para petugas keamanan sebagai penonton. Ini harus menjadi ritual wajib bila tak ingin berdiri dalam antrian di setiap ritus.
Mie tidak dijual dengan rupiah melainkan dengan tiket yang harus anda beli loket kasir, Setiap tiket tertulis nilai nominalnya. Selanjutnya anda berjalan ke loket yang lebih besar, bila beruntung disini anda akan disambut senyuman ramah seorang wanita tua , bila tidak adalah wajah galak/ngantuk/cemas pengurus, lebih sial bila kepalanya botak, menyeramkan.
Selanjutnya anda akan menerima sepiring mie, angkat, pegang dan bawalah dengan hati-hati. Karena meskipun mie ini termasuk keluarga mie goreng, namun minyaknya mengalahkan kuah mie rebus. Kemudian carilah tempat duduk yang jauh dari pintu dan tersembunyi, karena selagi anda makan akan banyak “cleaning servis” yang bekerja sebelum kantin tutup. Mereka ini adalah kaum bokek yang dengan terpaksa mengambil mie secara paksa dari piring anda dengan memaksakan kalimat “minta dong”.
Sekarang adalah saat terpenting, menyantap. Ketika mie dihantarkan oleh sendok, lidah akan langsung mencari jawaban atas pertanyaan, dimanakah letak rasanya?. Proses menelan menjadi sangat susah karena antrian panjang di tenggorakan, tapi tenang karena ada dorongan dari “cleaning servis” dan gedoran pintu kantin tepat 30 menit setelah kantin buka oleh keamanan pusat akan memaksa mie untuk langsung meluncur masuk ke dalam perut.
Setelah sampai di kamar, bila sempat seorang santri akan berpikir. Cairan apakah yang masih tersisa di tangan setelah makan mie, sebenarnya minyak atau keringat lekek si mbok kantin. Tapi bagi santri Gontor, tidak ada ruang bagi terlintasnya pertanyaan bodoh ini dari pikiran mereka, karena jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Inilah satu-satunya ruang untuk tidur sampai nanti pukul 3.30, bila tidak bisa tidur, pukulan rotan keamanan adalah obat tidur paling yang manjur.
Anda juga tidak perlu meragukan nutrisi yang terkandung dari sepiring mie Gontor. Tak perlu penelitian ilmiah atau sertifikasi ISO. Karena waktu telah menjawab, bahwa nutrisi yang terkandung di dalamnya begitu manjur untuk melahirkan tokoh-tokoh umat dan bangsa. Idham Khalid, Hidayat Nurwahid, Din Syamsudin, Hasyim Muzadi, Amin Abdullah, Nurkholis Madjid, Abdullah Ba’asyir dan masih banyak lagi.
Sekarang tak perlu heran lagi kenapa alumni Gontor bisa begitu banyak menelurkan varietas alumni. Karena mungkin inilah efek dari mie Gontor yang dulu mereka santap. Seribu rasa. Seribu Gontor, yang berdiri diatas dan untuk semua golongan. Selamat menikmati.



Tulisan ini disalin dari tulisan di group FB Gontor News
https://www.facebook.com/groups/GontorNews/permalink/1404826529637651/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar