Minggu, 10 September 2017

SURAT UNTUK ANAKKU

Sengaja Ayah bikin tulisan ini secepatnya. Tulisan yg justru tak segera bisa kamu baca. Sebuah surat tanpa perantara dan space sekian mega. Anggap saja semacam permintaan maaf dan pengakuan orang tua yg sangat menyayangi anaknya.
Kelak jika kau bertanya kenapa Ayah menulis surat? Ketauhuilah bahwa kamu lahir ketika senjakala profesi tukang pos baru saja dimulai waktu itu. Teknologi pesan pendek adalah penyambung cerita asmara Ayah dan Ibumu. Kamu adalah buah kecelakaan hidup kekinian - teknologi bernama telepon genggam. Ayah Siemen, Ibumu Nokia. Kami dicomblangi operator provider hingga bisa berjumpa dengan mudahnya. Kami nge-date dengan menu nasi goreng kambing delapan ribuan di pinggir jalan Pakuningratan. Hidup hanyalah rentetan peristiwa naif yg penuh kekonyolan.
Anakku, kita akan berpisah untuk waktu yg lama dan jarak yg panjang. Maka ijinkan Ayah menunduk dan mengakui semua kesalahan.
Maafkan Ayah karena tak mampu mendidik layaknya anak2 seusiamu. Mengikuti semua kemauanmu atau memanjakanmu dengan hal2 lucu. Ayah tak mau berbuat dzolim dengan membiarkanmu berlama2 menggenggam gawai pintar, menonton tv dan bersosial media hingga lupa waktu ashar.
Maafkan kebodohan Ayah karena tak bisa mengajarimu segala rupa ilmu dan perilaku yg pantas kau tiru. Menggambar masa depanmu saja Ayah tak dapat, apalagi membekalimu dengan segala materi untuk kecukupan hidup, tentu salah alamat.
Ketauhuilah anakku. Bahwa segala kenyamanan dan kemudahan yg kamu peroleh selama ini belum tentu berguna untuk masa depan. Karena bisa jadi semua itu racun yg menjelma menjadi candu dan benalu pengganggu perjalanan. Kenyamanan itu jebakan yg akan membuatmu lelah - mengantarkanmu pada kemandulan berfikir dan kemalasan bermuamalah.
Kamu harus segera dinetralisir. Disapih dengan cara melepaskanmu untuk menemukan kesulitan hidup dan belajar menyelesaikan persoalan2 nyata.
Kamu adalah anak pohon pisang yg harus dipisah dari induknya. Agar bisa tumbuh leluasa, menghirup udara pagi dan tegar menghadapi matahari.
Kamu adalah anak panah yg dibentangkan dan harus siap lepas dari busurnya untuk bergerak mencari sasaran dengan merdeka.
Kamu bukan anakku. Kamu anak kehidupan - titipan Tuhan. Dan keberhasilan orang tua adalah ketika mereka bisa menjaga dan merawat titipan itu dengan sebaik2nya.
Kiranya kamu bisa memahami semuanya, pesantren adalah tempat belajar hidup yg sesungguhnya. Cakrawala untuk menemukan kawan dan perspektif baru dalam hidupmu. Tempat ulat mengharu biru menjadi kepompong dan berpuasa untuk menjadi kupu-kupu.
Ayah berpesan, taati dawuh Kyai. Pelajari apapun yg bisa dipelajari. Hadapi semua kesulitan2 dengan kepala tegak, hati iklas dan lapang dada. Apapun yg kamu lihat, kamu rasa dan kamu dengar di pesantren ini adalah pendidikan - yg kelak menjadi bekalmu untuk meniti jalan, menapak bumi, dan menggapai dunia. Lillah.
Ayah ingat satu hal, malam itu kita duduk di pinggir lapangan basket pondokmu. Kamu bercerita, Ayah menunduk. Lalu kita terbahak membaca quote yg cukup sarkas pada baliho besar di seberang lapangan, "Jika kamu tak lebih baik dari aku, maka lebih baik kamu mati. Karena keberadaanmu disini hanya mengurangi jatah beras pondok ini". Ingat itu anakku.
Terakhir, sore tadi Ayah Ibumu sesenggukan melepasmu belajar mengarungi kehidupan. Kami berusaha iklas, namun belum tega rasanya meninggalkanmu, melepasmu di usia yg masih belia ditempa menghadapi ujian hidup jauh dari keluarga. Air mata kami tumpah, dada kami sesak dan mulut ini tak bisa berkata apa-apa kecuali :
Selamat berjuang anakku....
.
Darul Ma'rifat
Kampus 3 Pondok Modern Gontor
16 Syawal 1438H

https://www.facebook.com/masrowie/posts/10213825482450969

Tidak ada komentar:

Posting Komentar